Ota Benga: Potret Kegelapan dalam Sejarah Peradaban Modern
Nama Ota Benga mungkin tidak banyak dikenal, namun kisah hidupnya menjadi simbol kelam dari masa kolonialisme dan rasisme di awal abad ke-20. Ia adalah seorang pemuda dari suku Mbuti, kelompok masyarakat pigmi yang tinggal di hutan Kongo, Afrika Tengah.
Baca Juga: Lamine Yamal Perlu Beristirahat dari Barcelona dan Timnas Spanyol
Pada tahun 1904, Ota Benga “dibeli” oleh seorang penjelajah Amerika bernama Samuel Phillips Verner dari pedagang budak. Ia kemudian dibawa ke St. Louis, Amerika Serikat, untuk ditampilkan dalam ajang World’s Fair. Di sana, Ota dianggap sebagai contoh “manusia liar” dari Afrika, dan dipamerkan di depan ribuan pengunjung setiap harinya.
Dipamerkan di Kebun Binatang Bronx
Tragedi tak berhenti di sana. Dua tahun kemudian, Ota Benga dibawa ke New York dan dipamerkan di Kebun Binatang Bronx. Ia ditempatkan di kandang yang sama dengan simpanse dan orangutan, lengkap dengan tombak dan panah, seolah-olah ia adalah bagian dari “koleksi hewan eksotis.”
Publik Amerika saat itu melihatnya sebagai tontonan, bukan manusia. Beberapa ilmuwan bahkan menggunakan kasus Ota untuk “membuktikan” teori rasial palsu bahwa orang Afrika lebih dekat dengan kera daripada manusia modern.
Gelombang Protes dan Akhir Tragis
Sejumlah tokoh gereja dan aktivis kulit hitam mengecam keras tindakan tersebut. Mereka menuntut agar Ota Benga dibebaskan karena dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap martabat manusia. Tekanan publik akhirnya memaksa pihak kebun binatang menutup pameran itu.
Namun, kebebasan itu datang terlambat. Setelah dilepaskan, Ota hidup dalam keterasingan di Amerika. Ia mencoba beradaptasi, belajar bahasa Inggris, dan bekerja di pabrik tembakau. Meski demikian, trauma mendalam akibat perlakuan kejam yang dialaminya membuatnya depresi. Pada tahun 1916, Ota Benga bunuh diri di usia 32 tahun.
Simbol Perlawanan terhadap Rasisme
Kisah Ota Benga kini menjadi pelajaran penting dalam sejarah hak asasi manusia. Ia bukan sekadar korban kolonialisme, tetapi juga korban dari pandangan dunia yang memandang ras tertentu lebih rendah daripada yang lain.
Museum dan penulis sejarah kemudian mengangkat kisahnya kembali untuk menunjukkan bagaimana sains, agama, dan politik pada masa itu bisa bersatu dalam membenarkan praktik yang tidak manusiawi.
Kesimpulan
Tragedi yang menimpa Ota Benga mengingatkan dunia bahwa rasisme dan eksploitasi manusia bukan hanya kesalahan masa lalu, tetapi juga peringatan agar sejarah kelam itu tak terulang. Ia mungkin telah tiada, namun kisah hidupnya tetap menjadi simbol perjuangan melawan diskriminasi dan penghinaan terhadap kemanusiaan.
