Stockholm Syndrome adalah fenomena psikologis di mana korban penculikan atau penyanderaan mulai mengembangkan perasaan simpati, empati, atau bahkan ikatan emosional terhadap penyandera mereka. Fenomena ini sering kali muncul dalam konteks ekstrem, seperti penculikan, kekerasan dalam rumah tangga, atau situasi di mana korban sangat bergantung secara fisik dan emosional pada pelaku. Kondisi ini dapat mengejutkan banyak orang karena melibatkan perasaan positif terhadap seseorang yang melakukan kerugian besar terhadap korban sendiri dalam memahami perasaannya.

Baca juga Bayern Munich Tampil Gahar Musim 2025/2026

Asal Usul Istilah

Istilah Stockholm Syndrome pertama kali muncul setelah sebuah perampokan bank di Stockholm, Swedia pada tahun 1973. Selama lima hari penyanderaan, para korban mulai menunjukkan perilaku dukungan terhadap para perampok, bahkan setelah mereka dibebaskan. Pengamatan terhadap perilaku ini kemudian memicu penelitian di bidang psikologi dan kriminologi untuk mencoba memahami mekanismenya.

Bagaimana Stockholm Syndrome Terjadi

Beberapa faktor penting yang biasanya memicu perkembangan Stockholm Syndrome:

  1. Ketergantungan Ekstrem
    Korban berada dalam keadaan tidak berdaya dan sangat tergantung pada pelaku—baik untuk kebutuhan dasar (makanan, air, keamanan) maupun keselamatan pribadi.
  2. Ancaman Kehidupan atau Miliki Risiko Kekerasan
    Rasa takut terus-menerus bahwa pelaku bisa membahayakan mereka. Ketika ancaman nyata dirasakan, korban menjadi sangat sensitif terhadap perilaku pelaku yang terlihat “tidak terlalu buruk”.
  3. Perilaku Pelaku yang Tidak Konsisten
    Misalnya, pelaku kadang bersikap kasar, kemudian tiba-tiba menunjukkan keramahan atau belas kasihan. Inkonstansi ini dapat menciptakan kebingungan emosional dan harapan bahwa perilaku baik bisa muncul lagi jika korban “bersikap baik”.
  4. Kesempatan Komunikasi atau Empati
    Bila korban dan pelaku memiliki interaksi yang memungkinkan korban melihat sisi manusiawi pelaku—termasuk alasan, kelemahan, atau motivasi mereka—ini bisa memperkuat ikatan emosional.
  5. Isolasi dari Dukungan Luar
    Bila korban tersisolasi dari keluarga, teman, atau bantuan profesional, mereka memiliki sedikit sumber daya lain selain pelaku untuk mencari kenyamanan dan keamanan.

Ciri-ciri Stockholm Syndrome

Beberapa tanda atau perilaku yang bisa mengindikasikan bahwa seseorang mengalami Stockholm Syndrome:

  • Pembelaan atau pembentukan ikatan emosional dengan pelaku, meskipun pelaku telah melakukan kekejaman atau kejahatan.
  • Mengabaikan atau meremehkan bahayanya tindakan pelaku terhadap diri sendiri.
  • Rasa bersalah atau malu terhadap pihak luar yang mengkritik pelaku.
  • Keyakinan bahwa penyelamat dari luar justru dapat membahayakan mereka lebih dari sang pelaku.
  • Ketidakmampuan atau enggan untuk melarikan diri meski kesempatan ada, karena takut akan konsekuensi bila mencoba.

Dampak Psikologis dan Fisiologis

Menjalani situasi di mana Stockholm Syndrome berkembang bisa meninggalkan jejak dalam berbagai aspek:

  • Trauma Jangka Panjang: Berpotensi mengarah ke gangguan stres pasca trauma (PTSD), kecemasan, depresi.
  • Rasa Malu dan Konflik Internal: Korban bisa merasa bersalah karena telah “tertarik” atau “peduli” pada pelaku, yang membuat konflik moral.
  • Kesulitan Percaya: Setelah situasi tersebut, korban mungkin sulit mempercayai orang lain, termasuk orang terdekat.
  • Kesulitan Menyesuaikan Diri Pasca Kejadian: Kembali ke kehidupan normal bisa terasa asing atau bahkan penuh tekanan.

Apakah Stockholm Syndrome Merupakan Gangguan Mental?

Stockholm Syndrome bukanlah gangguan mental yang diakui secara resmi dalam manual diagnostik seperti DSM-5 atau ICD-11. Namun, fenomena ini memang melibatkan komponen trauma psikologis dan adaptasi ekstrem yang membuatnya menarik bagi psikologi klinis, terapi, dan intervensi pemulihan.

Penanganan & Pemulihan

Beberapa langkah yang dianggap efektif dalam membantu korban Stockholm Syndrome:

  • Terapi Psikologis
    Terapi trauma, konseling individual, kelompok dukungan — untuk membantu korban memahami pengalaman mereka, memproses rasa takut dan konflik emosional.
  • Pendidikan dan Kesadaran
    Memahami bahwa respon emosional yang muncul bukanlah kegilaan tapi adaptasi terhadap situasi ekstrem bisa membantu mengurangi rasa malu dan isolasi.
  • Dukungan Sosial
    Keluarga, teman, dan organisasi bantuan memainkan peranan penting dalam menyediakan rasa aman, kepercayaan, serta penerimaan.
  • Keamanan Fisik dan Batasi Kontak dengan Pelaku
    Bila memungkinkan, memutus hubungan dengan pelaku atau menciptakan situasi fisik yang aman sangat penting dalam proses pemulihan.

Kesimpulan

Memahami fenomena Stockholm Syndrome membantu kita melihat bagaimana manusia bereaksi dalam kondisi ekstrem, di mana rasa takut, ketergantungan, dan adanya variasi perlakuan dari pelaku dapat memicu ikatan emosional yang tampaknya bertolak belakang dengan naluri dasar untuk melarikan diri atau melindungi diri. Mengenali dan menangani kondisi ini membutuhkan pendekatan yang berempati, profesional, dan dengan dukungan sosial yang kuat.

Ringkasan: Stockholm Syndrome bukan sekadar kejadian unik dalam film atau literatur criminal; ia adalah manifestasi dari adaptasi psikologis yang bisa muncul saat korban berada dalam kondisi ketidakberdayaan penuh, dengan ancaman nyata dan ketidakpastian emosional. Memahami fenomena ini bukan hanya untuk ilmu, tetapi untuk membantu penanganan dan pemulihan mereka yang terdampak.